Close

Not a member yet? Register now and get started.

lock and key

Sign in to your account.

Account Login

Forgot your password?

KONSEP PERNIKAHAN KRISTEN-2 1 Korintus 7:10-16

16 Apr Posted by in Uncategorized | Comments

 

Dalam bab sebelumnya saya sudah menjelaskan bahwa seorang suami harus memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian juga seorang isteri harus memenuhi kewajibannya terhadap suaminya. Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah konsekwensinya jika seorang suami atau isteri tidak memenuhi kewajibannya? Saya percaya bahwa pertanyaan inipun sudah muncul dalam zamannya Paulus, dan kemungkinan besar dari anggota jemaat ada yang berpendapat bahwa jika seorang suami atau isteri tidak memenuhi kewajibannya, maka pasangannya berhak untuk meminta cerai.
Saya pikir itulah sebabnya Paulus dalam 1 Korintus 7:10-16 berkata, “Kepada orang-orang yang telah kawin aku–tidak, bukan aku, tetapi Tuhan–perintahkan, supaya seorang isteri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jikalau ia bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamaidengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan isterinya. Kepada orang-orang lain aku, bukan Tuhan, katakan: kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya. Andaikata tidak demikian, niscaya anak-anakmu adalah anak cemar, tetapi sekarang mereka adalah anak-anak kudus. Tetapi kalau orang yang tidak beriman itu mau bercerai, biarlah ia bercerai; dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat. Tetapi Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera. Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?”
Dalam ayat 10-11 Tuhan memerintahkan supaya isteri tidak menceraikan suaminya demikian juga suami tidak menceraikan isterinya. Bagi orang yang telah menikah, tidak boleh menceraikan pasangannya. Ini merupakan perintah Tuhan. Ini bukan anjuran tetapi suatu perintah. Dalam ayat 11 memang dikatakan bahwa jika bercerai, maka mereka tidak boleh menikah lagi. Orang yang telah bercerai harus tetap hidup seorang diri atau kembali kepada suaminya atau isterinya. Namun hal ini tidak sedang mengajarkan bahwa ada ijin untuk bercerai. Dalam Matius 19:6 dikatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Kalau demikian mengapa dalam ayat 11 seolah-olah ada izin untuk bercerai? Mungkin pertanyaan itulah yang muncul dalam benak Anda. Dalam Matius 5:32 dan Matius 19:9 Yesus mengatakan tidak ada seorangpun isteri atau suami yang menceraikan pasangannya, kecuali karena zinah. Seorang isteri boleh menceraikan suaminya yang berzinah, semikian juga seorang suami boleh menceraikan isterinya yang berzinah. Kata boleh dalam konteks ini bukan berarti harus, tetapi suatu kelonggaran. Kata boleh menceraikan bukan berarti harus menceraikan. Jika seseorang memutuskan untuk menceraikan pasangannya karena zinah, hal itu diijinkan, dengan catatan dia sendiri akan tetap hidup sendiri atau tidak menikah dengan yang lain. Pilihannya adalah menceraikan pasangannya dan hidup sendiri atau kembali hidup bersama pasangannya. Tetapi kehendak Allah adalah supaya hubungan suami-isteri tersebut dipulihkan.
Kemudian dalam ayat 12-14 Paulus memberikan nasihat terhadap pasangan atau suami-isteri yang tidak seiman. Paulus mengatakan jika ada seorang isteri yang bersuamikan seorang yang tidak seiman dan mau hidup bersama dengan dia, maka dia tidak boleh menceraikan suaminya. Demikian juga seorang suami yang memiliki isteri yang tidak seiman, dan isterinya mau hidup dengan dia, maka suami tersebut tidak boleh menceraikan isterinya.
Kita harus berhati-hati dalam memahami nats ini, karenaada beberapa orang yang mencoba membenarkan pernikahan dengan yang berbeda agama dengan menggunakan nats ini. Mereka menjadikan nats ini sebagai rujukan bahwa diijinkan untuk menikah dengan orang yang tidak seiman. Kita harus memahami latar belakang penulisan nats ini. Apa yang terjadi pada waktu itu adalah, ada keluarga-keluarga di Korintus yang tadinya bukan seorang Kristen. Kemudian sebagai hasil penginjilan Paulus, salah seorang dari keluarga tersebut, apakah itu suami atau isteri menjadi pengikut Kristus, sementara pasangannya belum menerima Kristus. Mereka mengajukan pertanyaan, apakah mereka akan tetap hidup dengan suami atau isterinya, ataukah mereka harus menceraikan suami atau isterinya? Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Paulus membahas kasus tersebut dalam suratnya.
Paulus mengatakan supaya suami atau isteri tidak menceraikan pasangannya yang tidak seiman. Dalam ayat 14 Paulus menambahkan bahwa suami atau isteri yang telah menerima Kristus itu telah menguduskan pasangannya, dan itulah sebabnya anak-anak mereka merupakan anak-anak yang kudus, bukan anak cemar atau anak haram. Ayat 14 inipun perlu kita pahami secara mendalam. Apa yang dikatakan dalam konteks ini tidak berhubungan dengan keselamatan. Jika Paulus mengatakan bahwa suami yang beriman akan menguduskan isterinya yang tidak beriman atau sebaliknya, hal ini tidak mengatakan bahwa suaminya atau isterinya akan diselamatkan atau masuk Sorga karena iman isteri atau iman suaminya. Bukan itu yang diajarkan nats ini, karena dalam ayat 16 Paulus bertanya, “Bagaimanakah engkau mengetahui bahwa engkau tidak akan menyelamatkan suamimu?” Jadi ayat 14 ini tidak berkaitan dengan keselamatan, ketika Paulus mengatakan bahwa suami yang beriman akan menguduskan isterinya yang tidak beriman.
Apa yang hendak diajarkan dalam nats ini adalah jika salah seorang telah menerima Kristus, bukan merupakan dosa jika dia tetap hidup dengan suami atau isterinya yang tidak seiman. Pernikahan yang demikian dalam konteks ini dibenarkan dihadapan Allah. Itulah sebabnya Paulus melarang mereka untuk menceraikan suami atau isterinya. Jika hal ini tidak benar dihadapan Allah, maka Paulus bukan hanya tidak melarang tetapi akan menganjurkan perceraian bagi seorang suami atau isteri yang telah menerima Kristus. Lebih lanjut dari konsekwensi ini adalah, karena dalam kasus ini merupakan hal yang benar di hadapan Allah, maka anak yang dilahirkanpun bukan merupakan anak cemar atau anak haram, tetapi anak kudus. Sekali lagi, inipun tidak berbicara mengenai keselamatan, tetapi berbicara tentang keabsahan atau sebagai anak yang sah. Masalah apakah anak itu akan diselamatkan atau tidak, itu tergantung kepada imannya kepada Yesus Kristus.
Namun dalam ayat 15 Paulus menjelaskan bahwa jika seorang suami yang tidak beriman menghendaki perceraian, maka biarlah ia bercerai, dan dalam kasus tersebut seorang isteri menjadi tidak terikat kepada suaminya. Demikian juga sebaliknya. Namun Paulus kembali mengingatkan bahwa kehendak Allah adalah damai sejahtera dalam rumahtangga. Allah tidak menghendaki perceraian, tetapi kehendak Allah adalah supaya damai sejahtera Allah ada dalam setiap rumahtangga, dan bagi yang belum menerima keselamatan, akan diselamatkan. Alasan Paulus mengapa tidak boleh menceraikan suami atau isteri yang tidak seiman adalah karena Allah menghendaki damai sejahtera dalam setiap keluarga, karena Allah menghendaki pasangan yang belum diselamatkan akan menerima keselamatan, dan juga karena masih ada kemungkinan pasangan tersebut akan diselamatkan karena kesaksian yang baik dari isteri atau suaminya. Itulah kehendak Allah.

By : ” Buku Kehidupan Kristiani
dalam Dunia yang Rusak
(Christianity in Corrupt World)”

Back to the Bible Indonesia

 

 

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.